BERMIMPILAH!
Suatu hari Umar bin Khattab melukakan dialog dengan beberapa
orang di zamannya. Umar bin Khattab berkata : “Bercita-citalah!” Maka salah
seorang di antara yang hadir berkata :” Saya berangan-angan kalau saja saya
mempunyai banyak uang ( dinar dan dirham ), lalu saya belanjakan untuk
memerdekakan budak dalam rangka meraih ridha Allah.”
Seorang lainnya menyahut : “Kalau saya, berangan-angan
memiliki banyak harta, lalu
saya belanjakan fi sabilillah.” Yang lainnya menyahut : “Kalau saya mengangankan kekuatan tubuh yang prima lalu saya abdikan diri saya untuk memberi air zam-zam kepada jama’ah haji satu persatu.”
saya belanjakan fi sabilillah.” Yang lainnya menyahut : “Kalau saya mengangankan kekuatan tubuh yang prima lalu saya abdikan diri saya untuk memberi air zam-zam kepada jama’ah haji satu persatu.”
Setelah Umar bin Khattab mendengarkan mereka, ia pun berkata
: “Kalau saya, berangan-angan kalau saja di dalam rumah ini ada tokoh seperti
Abu Ubaidan bin Jarrah, Umair bin Sa’ad dan semacamnya.”
Mungkin Anda bertanya mengapa harus bermimpi? Ternyata
banyak orang-orang besar ataupun pemimpin besar yang berangkat dari seorang
pemimpi. Jadilah pemimpi besar untuk menjadi pemimpin besar. Seorang tokoh
pernah mengatakan, seorang pemimpin harus mempunyai banyak mimpi, jika tidak
dia tidak layak menjadi pemimpin.
Kalau untuk bermimpi saja tidak berani, maka bagaimana ia
berani memimpin? Karena menjadi pemimpin berarti menjadi orang yang cerdas.
Yakni berpikir mendahului masanya, meski kadang orang lain belum bisa
memahaminya. Ia juga obsesif. Memiliki pikiran dan gagasan besar di luar apa
yang dipikirkan orang lain.
Maka, jangan takut bermimpi!
FILOSOFI CITA – CITA…
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa “Keluhuran cita-cita
adalah bagian dari keimanan”. Karena orang yang punya cita-cita mulia, obsesi
yang tinggi, tujuan luhur, tentunya dia tidak akan menjerumuskan diri dalam
kehinaan, dari kemaksiatan, dan kemistaan. Karena itulah bermimpilah dan
bercita-citalah setingi bintang. Cita-cita besar adalah tanda kehidupan jiwa,
indikasi sukses orang-orang besar. Pintu kebahagiaan siapa saja disebabkan oleh
jiwanya selalu terbuka, berpikir dan berjiwa besar.
“Kalau anda percaya bisa berhasil, anda akan betul-betul
berhasil.” Demikian kata D.J.Schwartz dalam bukunya The Magic of Thinking Big.
“Setiap manusia yang menghasratkan sukses atau menginginkan yang sebaik-baiknya
dari kehidupan sekarang ini. Tak ada manusia bisa mendapat kesuksesan dari
hidup yang merangkak-rangkak, kehidupan yang setengah-setengah. Tak ada yang
ingin merasa dia itu termasuk kelas dua atau terpaksa hidup sebagai “kelas dua”
( D.J.Schwartz, 1978 )
Cita-cita besar itu ibarat dinamo. Cita-cita besar itu
ibarat dinamo yang menggerakkan arus positif dan arus negatif yang mengontrol
tubuh Anda. Cita-cita besar itu ibarat bahan bakar. Memacu kendaraan untuk
maju, melesatkan kereta dengan cepat.
Cita-cita besar itu adalah pintu. Pintu kebahagiaan, pintu
kesuksesan, pintu kesempurnaan. “Dan katakanlah:”Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku
secara masuk yang benar dan keluarkanlah ( pula ) aku secara keluar yang benar
dan berikanlah kepadaku dari sisi engkau kekuasaan yang menolong.” (
Al-Isra’:80 )
Cita-cita besar itu merupakan obat. Obat penghilang
kelemahan, penghilang kemalasan, penghilang kesedihan, penghilang kehinaan.
Cita-cita ciri kemuliaan. Orang mulia adalah orang yang
memiliki cita-cita. Karena cita-cita akan membangun pendirian yang kokoh, tidak
gentar menghadapi masalah, tidak jera menghadapi kegagalan. Sedangkan orang
yang tidak memiliki cita-cita akan menjadi pengecut, penakut dan pecundang.
Diantara manifestasi cita nan mulia adalah membangun keluhuran jiwa dan
menjauhkan diri dari posisi tertuduh.
Begitu banyak dan begitu penting untuk menjadi besar dengan
cita-cita besar. Tapi jangan sekali-kali merasa besar. Karena merasa besar akan
menumbuhkan penyakit jiwa, menyebabkan sengsara dan pembawa derita. Sedang
menjadi besar membawa bahagia.
JANGAN TAKUT PUNYA CITA-CITA
Kadang kita takut punya cita-cita, karena takut untuk
mencapainya. Padahal cita-cita merupakan energi
yang akan menggerakkan jiwa, menggerakkan pikiran untuk kreatif,
menggerakkan badan untuk aktif, menggerakkan seluruh tubuh mencapai tujuan.
Cita-cita adalah ruh yang menjadikan seseorang tetap bertahan. Seperti Imam
Ahmad yang tegar di tengah cambukan tanpa menggeserkan sedikitpun keimanan dan
keyakinan yang tertanam. Cita-cita pula yang menghadirkan cinta dan kasih
sayang ibu terhadap anaknya, melumurinya dengan doa, menghiasinya dengan
tarbiyah. Seperti pengorbanan Ibunda Imam Syafi’I yang mengorbankan seluruh
hartanya dan menginfakkan waktunya untuk melahirkan ulama besar, referensi
peradaban Islam.
BERCITA-CITA ITU SEPARUH KESUKSESAN
Kesuksesan tidak semata-mata diukur pada hasil tapi juga
pada proses. Proses merencanakan dengan tujuan yang benar dan mulia. Proses
mengorganisasikan dengan rapi dan sistematis. Proses melaksanakan dengan
ikhlas, tekun, teliti dan professional. Dan proses evaluasi dengan jujur dan
semangat perbaikan tak kenal henti. Dan cita-cita adalah separuh dari
kesuksesan. Karena orang yang bercita mulia tak modah goyah untuk menggadaikan
di tengah jalan, menukar dengan yang hina dan rendah.
Memiliki cita-cita berarti memiliki tujuan hidup yang jelas.
Memiliki kejelasan tujuan adalah separuh dari kesuksesan. Adapun yang separuh
itu adalah bagaimana kita menempuhnya. Oleh karena itu, persiapkan cita-citamu
sejak sekarang. Karena orang yang cerdas, yang punya cita-cita jelas adalah
orang yang selalu mengoreksi dirinya dan beramal untuk bekal sesudah mati.
Sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan hanya
berangan-angan kosong.
CITA-CITA DUNIA
Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Ibrahim Al
Harbi, yang berguru pada Imam Ahmad mengatakan,”Aku telah menyertai Imam Ahmad
bin Hambal selama dua puluh tahun. Saat
musim dingin atau musim panas, siang atau malam, tak pernah aku dapati
kecuali ia lebih baik dari sebelumnya.” ( Manaqib Ibnu Hambal, Ibnul Jauzy )
Salah bentuk ungkapan cita-cita adalah doa. Kita kaum
Muslimin punya sebuah doa yang sangat populer, yakni Rabbana aatina fiddun-ya
hasanah wa fil akhirati hasanah waqinaa ‘adzaban naar. Ya Allah! Berikanlah
kami kebahagiaan di dunia dan berikan pula kebaikan di akhirat dan jauhkanlah
kami dari siksa api neraka.” ( Al-baqarah:201 )
Doa itu adalah wajah cita-cita kita. Namun sudahkah kita
menghayati cita-cita kita itu? Lalu tahukah kita apa sebenarnya yang kita
citakan? Seperti doa di atas. Kalau kebahagiaan akhirat rata-rata sudah jelas
yakni surga dan segala kenikmatannya. Tapi apa makna kebahagian dunia?
CITA-CITA AKHIRAT
Bila Anda telah memiliki cita-cita dunia. Maka mari
selanjutnya kita meraih cita-cita akhirat. Bagaimana tidak, sedangkan kita
semua pasti akan mati. Dan yang terpenting adalah bagaimana kita mati dan
mempersiapkan diri menghadapi kematian. Sebab, rasa mati itu sama, tapi
sebabnya beragam, nilainya berbeda. Ada yang syahid karena taat, ada yang
“sangit” karena gosong dalam bermaksiat. Ada yang mulia karena taqwa dan banyak
yang hina karena angkara.
Cita-cita akhirat inilah puncak kita untuk beristirahat.
Seperti kata Imam Ahmad saat ditanya kapan seorang mukmin beristirahat? “ saat
ia menginjakkan kakinya di surga” Jawab beliau.
Lalu apa cita-cita akhirat yang bisa kita rintis? Berikut
beberapa contoh obsesi yang mestinya kita miliki :
1.Proses meninggal tanpa sakratul maut yang membebani diri
dan orang lain.
2.Tidak meinggal duni pada saat kejadian hari kiamat yang dahsyat.
3.Meninggal dunia saat berjihad di jalan Allah di medan
pertempuran seperti yang dicita-citakan Khalid bin Walid.
4.Meninggal dunia saat melakukan amal-amal sholeh dan amal
unggulan yang dirintisnya.
5.Meningal dunia tanpa memiliki hutang-hutang sehingga tidak
memberatkan perhitungan di yaumil hisab.
6.Mendapatkan rahmat Allah di alam kubur seperti orang-orang
yang gemar menghafal al-Qur’an, memberikan penerangan jalan dan banyak
memakmurkan masjid Allah.
7.Mendapatkan syafa’at di padang mahsyar. Renungkan tentang
tujuh golongan yang dinaungi Allah di hari kiamat, apakah kita masuk salah
satunya.
8.Dimudahkan saat pengadilan akhir nanti.
9.Dimudahkan saat melewati shiratal mustaqim.
10.Ada keringanan siksa neraka.
11.Tidak terlalu lama berada di neraka.
12.Mendapatkan ampunan yang banyak atas berbagai dosa dan
kesalahan.
13.Dapat berkumpul dengan keluarga di surga.
14.Bertemu lebih dekat dengan orang-orang sholeh.
15.Bertemu dengan Rasulullah dan orang-orang yang kita
kagumi, yang belum sempat bertemu.
16.Melihat Wajah Allah di surga.
FOKUSKAN DIRI UNTUK MERAIH CITA
Kita mesti memiliki prioritas dan fokus dalam hidup kita.
Fokuskan pada kekuatan, pada apa yang kita miliki untuk mampu mendahsyatkan
potensi meraih prestasi. Seperti kaca pembesar yang mengumpulkan sinar pada
satu titik untuk dapat membakar.
Mengapa fokus penting? Karena setiap kita memiliki kekhasan
masing-masing. Contohnya Hasan bin Tsabit ia tak pandai melantunkan adzan,
karena ia bukan Bilal. Khalid bin Walid tidak pintar membagi warisan karena ia
memang bukan Zaid bin Tsabit yang pakar di bidang faraidh. Imam Sibawaih yang
pakar Nahwu merasa gundah saat belajar ilmu hadits karena ia bukan Imam Bukhari
yang siap berhari-hari menempuh perjalanan panjang demi mendapat hadits untuk
diseleksi.
Kita mesti menyadari bahwa setiap kita memiliki
keterbatasan-keterbatasan. Namun, di balik keterbatasan itulah tersimpan
kelebihan. Bila kita berpikir positif, sesungguhnya dengan keterbatasan itulah
seseorang bisa “bersyukur” untuk meledakkanya menjadi keluarbiasaan.
Kuncinya adalah selalu bersyukur sehingga selalu fokus pada
apa yang dimiliki. Menikmati apa yang ada, bukan meratapi apa yang tiada atau
hilang dari genggaman tangan kita. Kita tak selalu bisa mendapatkan apa yang
kita inginkan, namun sesungguhnya kita dapat menikmati apa yang kita miliki.
Karenanya fokuskan pada apa yang ada, jangan risau pada yang tiada.
Bersyukurlah. (Al Bashirah Edisi 05 Tahun II
Rubrik Tanmiyah)
Sumber dari: http://wahdah.or.id/bercita-citalah/